Istirahatlah Dengan Tenang, Pahlawan Jambuku…

Dia bernama lengkap Muhammad Yusuf. Namun, teman-temannya memanggilnya dengan nama Ucok. Seiring berjalannya waktu aku pun ikut memanggilnya Ucok. Umurnya sekitar 11 tahun ketika aku pertama mengenalnya. Dia duduk di kelas 5 SDN 39 Manyamba dengan 24 anak lainnya, di mana aku menjadi wali kelas mereka. Tulisan ini aku dedikasikan untuk muridku Ucok.

Pertama kali mengenalnya, Ucok bukan anak yang terlalu spesial. Dia bukan anak yang paling pintar, bukan juga yang paling nakal. Tapi semakin kami dekat, makin lama makin aku sayang padanya.

Ucok itu anak yang pintar, dia paling suka IPA dan IPS. Dia selalu aktif dalam percobaan-percobaan IPA yang kubuat di kelas. Dan setiap ada pertanyaan IPS, “Kenapa para pemuda membawa Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok sebelum hari kemerdekaan?”. Ucok pasti akan menjawab,”Untuk memperjauhkan Soekarno-Hatta dari pengaruh Jepang”. Dia selalu konsisten menggunakan kata memperjauhkan. Hehe, walaupun itu bukan kosakata yang baik dan benar, dia selalu percaya diri dengan jawaban itu.

Hal lain yang paling kusuka dari Ucok adalah, dia tidak pernah berpikir panjang untuk membantu orang lain, termasuk membantuku. Pernah suatu hari di kelas 2, ada bangkai anak kucing yang sudah mulai membusuk di kelas. Anak-anak ribut mendatangiku, “Bu, posa mate ilalang di kelas 2!”. Artinya ada kucing mati di dalam kelas 2. Ergh, sebenarnya aku enggan melihatnya, pasti menyeramkan. Tapi karena gengsi, aku masuk ke kelas 2. Anak-anak memintaku untuk membuang bangkai kucing yang berdarah-darah itu. Sementara aku kalang kabut mencari kain bekas yang cukup tebal untuk membungkus bangkai kucing itu, hanya dengan selembar kertas, Ucok berlari keluar kelas dengan bangkai kucing di tangannya menuju tempat pembuangan sampah. Cerita lain, ketika aku dan kelas 5 pergi naik gunung ke Ratetaring, Ucok dengan setia berjalan menemaniku sementara teman-teman laki-lakinya berjalan jauh di depan.

Ucok selalu bercerita dengan ceria padaku. Dia selalu meminta persetujuanku di akhir ceritanya, “Bagus sekali bu guru, di? di? di?”. “Di” adalah partikel dalam Bahasa Mandar yang artinya kan. Jadi kurang lebih dia berkata “Bagus sekali bu guru, ya kan? ya kan? ya kan?”. Tidak akan berhenti sampai aku menyahut.
Suatu kali aku kunjungan ke rumahnya, aku disambut oleh ibu dan kakak laki-lakinya. Aku senang sekali datang ke rumah Ucok. Selain karena disuguhi durian, atmosfer keluarganya sangat menyenangkan. Orang tuanya sangat peduli akan pendidikan anak-anaknya, terlihat dari kakaknya yang paling tua yang saat ini sedang berkuliah di Majene. Mereka selalu berusaha membantu Ucok dalam pelajarannya di sekolah. Ucok adalah salah satu anak yang aku lega meninggalkannya, karena dia berada di keluarga yang tepat.

Pernah juga suatu waktu, Ucok dan beberapa orang temannya, pergi ke kebun dan kembali dengan sekantung joleng. Joleng adalah jambu berwarna putih sebesar alpukat. Aku senang sekali mendapat pemberian joleng itu. Sebagai ucapan terima kasih, aku membuatkan masing-masing dari mereka sebuat pembatas buku dengan tulisan “Untuk Para Pahlawan Jambu”. Kuminta mereka menyimpan pembatas buku itu sebagai kenang-kenangan.

Banyak kenangan yang kuingat tentang diri Ucok, apalagi selama aku menjadi wali kelasnya. Sekarang Ucok sudah duduk di kelas 6, tahun depan dia SMP. Namun, 2 hari yang lalu aku mendapat kabar dari teman guruku, bahwa Ucok sudah lebih dulu meninggalkan kita semua. Bagai tersengat listrik, hatiku mencelos bukan kepalang. Kenapa? tanyaku. Sakit tipes, katanya. Sudah 10 hari di Rumah Sakit Majene. Semua keluh kesah dan sumpah serapah tak akan berguna. Sakit tipes, for godsake!!

Selamat istirahat Ucok. Semoga kisahmu ini bisa menjadi contoh bagi lingkungan sekitarmu untuk lebih peduli pada kebersihan dan kesehatan. Semoga kisahmu ini bisa menjadi pemicu bagi pemerintah dan dinas kesehatan agar lebih peduli dalam meningkatkan mutunya.

Selamat istirahat pahalawan jambuku…